Resensi 4 Lomba

Ssst…! Ada Apa dengan Uglyphobia?

Judul Buku : Uglyphobia
Penulis : Queen Soraya
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Maret 2008
Tebal Buku : 176 halaman


Membaca judul teenlit “Uglyphobia” yang unik tentu akan membuat kita penasaran dengan isi dari buku ini. Novel bergenre remaja yang dikemas dengan ragam bahasa kekinian ini memiliki daya pikat yang kuat pada judulnya. “Uglyphobia”, kata ini tentunya akan memunculkan beribu tanya yang menggelitik hati kita. Dari judul yang begitu memikat inilah karangan Queen Soraya terasa seperti oase di tengah Sahara, terutama bagi para remaja yang membutuhkan suplai bacaan yang menghibur.
Paragraf pembuka yang terasa menggebu-gebu akan menyambut kita di babak pertama konflik dimulai. Garnet, mahasiswi yang prestasi akademiknya jempolan dan berpenampilan cuek begitu bersemangat untuk menghadiri ‘kencan pertamanya’ dengan cowok yang ia idolakan. Alan, pemuda tampan yang ia idolakan, ternyata mengundangnya hanya untuk mengembalikan surat cinta darinya. Bisa dibayangkan betapa terpukulnya Garnet. Tapi hidupnya tak berhenti sampai di situ, karena ini baru bagian awal dari kisah hidup Garnet yang diangkat oleh Queen.
Kehadiran Cindy sebagai penentang tokoh utama digambarkan sebagai sosok sempurna dalam hal fisik. Berbeda jauh dengan Garnet yang superkurus dan acak-acakan, Cindy adalah gadis metropolitan, pencitraan anak muda masa kini yang selalu ingin tampil up to date. Ialah yang menjatuhkan harga diri Garnet di mata Alan dengan pura-pura membantu Garnet mendekati Alan. Dan malangnya, Garnet terjebak tipu daya Cindy dan geng-nya.
Kemudian muncul pula tokoh Vero yang dibayang-bayangi teror ‘operasi sedot lemak’ yang diajukan tantenya yang jelita, Tante Maya. Vero yang supergemuk dan blak-blakkan tentu saja panik. Ia mengadukan masalahnya pada Garnet yang sejak SD akrab dengannya. Sahabat yang kompak itu akhirnya bekerja sama untuk menangani masalah mereka bersama-sama. Vero memulai dietnya untuk satu bulan ke depan dengan harapan Tante Maya akan membatalkan operasi sedot lemaknya, sementara Garnet berusaha untuk sedikit menggemukkan badannya dan mulai memperbaiki penampilannya.
Dalam cerita ini tokoh pangeran berkuda putih memperkenalkan dirinya sebagai Rhinky. Rhinky yang dulu pernah menyukai Garnet kebetulan merangkap sebagai asisten di klinik tempat Vero berkonsultasi mengenai masalah berat badannya. Garnet yang secara tak sengaja bertemu dengan Rhinky pada akhirnya semakin dekat dengannya. Yang menjadi penghalang kedekatan mereka berdua adalah tokoh yang serupa dengan Cindy. Ia adalah Claudia. Model yang selalu ingin tampil cantik meskipun ia harus mengorbankan anugerah Tuhan di atas meja operasi. Dan segala kepalsuan pada diri Claudia-lah yang membuat Rhinky tak menyukainya.
Kebusukan hati Claudia terbuka pada babak akhir buku ini. Kecemburuan dan rasa ingin memiliki Rhinky membuat Claudia gelap mata. Garnet yang tak bersalah menjadi kambing hitam. Vero yang membantunya justru ikut menjadi kambing hitam. Sungguh tak adil, memang. Tapi cerita yang berbingkai kehidupan anak remaja ini berakhir dengan bahagia. Bisa ditebak, Garnet akhirnya mendapatkan Rhinki-nya.
Sebagaimana ciri khas teenlit yang ringan, Queen sang penulis mencoba menyuguhkan realita kehidupan remaja dari kaca mata seorang Garnet yang digambarkan teramat ‘biasa’ di mata teman-temannya. Melalui Garnet sebagai tokoh utama, Queen melontarkan masalah demi masalah. Keberanian Queen yang menggambarkan Garnet sebagai cewek culun dalam hal penampilan, cuek, tapi pintar dalam bidang akademik ini bisa dibilang ‘berbeda’ dengan penggambaran penulis-penulis lain tentang tokoh yang bisa dibilang ‘kolot’. Pada umumnya seorang tokoh seperti Garnet digambarkan sebagai sosok yang pemalu. Tapi agaknya Queen berpendapat lain dalam menampilkan citra seorang Garnet dan ini sah-sah saja. Namun, yang sangat disayangkan di sini adalah kegagalan Queen dalam menciptakan tokoh utama yang konsisten terhadap sifatnya. Sangatlah kontradiktif jika seorang yang pemalu dapat menjadi seorang yang nekat menembak cowok dalam tempo yang teramat singkat. Akan lebih baik lagi jika Queen menambahkan detail dan menghilangkan kesan novel ini terlalu ‘tiba-tiba’ menjadikan mudah suatu masalah. Dengan begitu plot yang disusun perlu perbaikan terutama dalam meramu konflik-konflik yang cerdas agar pembaca tertantang untuk menebak akhir cerita.
Di sini penulis yang mengangkat topik ‘peduli penampilan’ membawa pesan tersembunyi dari judul dan isinya. Agaknya Queen ingin pembaca menemukan sendiri bahwa takut menjadi jelek bukanlah suatu ketakutan ketika kita mensyukuri pemberian dari-Nya.

0 comment: