Geng Kekerasan, Anomali yang Wajar?
Oleh: Ratna Amalia Solikhah
SMA N 1 BANTUL
Dunia pendidikan Indonesia seolah diterjang badai di tengah kemelutnya yang tak kunjung usai. Kekerasan merebak, senioritas yang berujung luka dan aib bagi kita semua semakin memprihatinkan saja. Fenomena geng kekerasan tentu tidak asing lagi kita dengar. Ironisnya, mereka berasal dari lingkungan terpelajar yang berkesempatan mengenyam pendidikan dengan baik dan bahkan sebelumnya telah menuai prestasi di bidang yang diminatinya. Bukankah ini menarik?
Kekerasan sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Era lalu kita hanya belum tahu, karena media terbatasi lingkup geraknya untuk mendokumentasikan setiap peristiwa-peristiwa di negeri ini. Sejak akhir tahun 1970-an, geng SMA mulai marak keberadaannya. Bahkan menjadi prestis. Nama geng yang dibuat juga unik. Ada yang bernuansa militer, nama kawasan tongkrongan, bahkan yang terkesan gaul, funky dan girlie. Penelusuran detikcom, geng pasukan berseragam putih abu-abu ini marak di wilayah Jakarta Selatan. Hampir setiap sekolah yang berada di sana memiliki julukan, dan terbanyak diraih SMA 70 Jakarta Selatan.1
Untuk langkah pertama kita dapat mengambil contoh geng Nero. Berikut kutipan dari www.antara.co.id
Dalam video rekaman kekerasan gang tersebut, korban yang bernama Lusi, siswi kelas III SMP mendapat tamparan secara bergantian oleh anggota geng tersebut. Bahkan, korban sempat diludahi pelaku.
Ratna, salah satu anggota Geng Nero, mengakui, aksi kekerasan tersebut timbul karena ada masalah dengan Lusi.
Sedangkan Tika, siswi kelas I di SMU Juwana mengakui, dirinya ikut menampar Lusi sebagai bentuk aksi solidaritas terhadap temannya yang dihina oleh korban.
Menurut pengakuan sejumlah pelaku, terbentuknya gang nero saat mereka masih duduk dibangku sekolah dasar (SD).
Nero sebenarnya adalah nama seorang kaisar kelima era Romawi yang terkenal dengan kekejamannya, yaitu Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus. Nero kemudian diangkat menjadi nama salah satu tokoh superjahat pada komik dari DC Comics. Apakah mereka sengaja menggunakan nama itu untuk menunjukkan diri mereka sebagai sosok jahat seperti pemilik nama sebelumnya? Atau mungkin mereka menganalogikan diri mereka sebagai remaja yang mempunyai semboyan “neko-neko dikeroyok”?
Berbagai pertanyaan muncul di benak kita. Inikah realitas kehidupan anak-anak muda sekarang? Apakah moralitas dan kepekaan bangsa terhadap kedamaian sudah pudar hingga remaja putri pun ikut-ikutan melakukan kekerasan?
Dibandingkan geng Nero yang masih dalam lingkup kecil, sebenarnya kita harus lebih mengkhawatirkan geng sekolah yang secara umum lebih berbahaya karena melibatkan banyak anggota. Kebanyakan geng sekolah yang ada saat ini adalah tradisi turun temurun dari angkatan terdahulu. Di beberapa kasus menggabungkan diri menjadi anggota geng sekolah merupakan salah satu syarat agar dapat diterima dalam pergaulan anak muda. Alasan lain mereka bergabung dengan geng sekolah adalah kenikmatan dan kepuasan yang mereka daptkan dalam komunitasnya.
Berdasarkan “prasasti” dan iklan kreatif yang tampak di tembok-tembok jalan Jogja, maka dapat diidentifikasi beberapa geng sekolah di kota Jogja antara lain SMA 2 Jogja bermana “NoCaZta”, SMA 4 Jogja bernama “SMC”, SMA 5 Jogja bernama “Roever”, SMA 6 Jogja bernama “DEPAZTER “(Depan Pasar Terban), SMA 8 Jogja bernama “GNB”, SMA 9 Jogja bernama “GaNZa” SMA 11 Jogja bernama “REM” , dan SMU 10 bernama ”SMUTEN”. Sedangkan untuk sekolah swasta di Jogja adalah SMA Muhamadiyah 1 bernama “JOXZIN” (Joko Sinting) yang sekarang berganti menjadi “OESTAD”, Sedangkan geng SMU di daerah sub urban kota Jogja adalah SMA Banguntapan Bantul bernama “BGZ”, SMA 1 Kalasan bernama “SOC’S”, SMA 2 Ngaglik Sleman bernama “DBZ”, SMA 1 Depok Sleman bernama “BBC” dan masih banyak lagi lainnya.
Anggota geng sekolah, selanjutnya akan lebih sering saya sebut “mereka yang tersesat”, yang seharusnya belajar dengan baik ini tanpa mereka sadari telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam jurang kehancuran. Sosialisasi mereka dengan lingkungan buruk, prestasi dan prestisi mereka di mata masyarakat juga ikut turun. Lalu apa manfaat yang didapatkan? Tidak ada! Kalaupun ada, itu hanya bersifat sementara dan selebihnya akan merugikan dirinya sendiri.
Keberadaan geng sekolah yang biasanya mengarah ke hal-hal negatif seperti tawuran, tentu akan sangat mengganggu siswa lain yang tidak terlibat secara langsung dalam geng. Misalnya, beberapa siswa yang cukup pandai dalam bidang akademik akan menjadi sasaran mereka yang tersesat dalam mengerjakan tugas sekolahnya sementara mereka yang tersesat lebih suka menyibukkan diri bersama teman satu geng untuk hal-hal yang sia-sia. Contoh lain pada geng perempuan, mereka akan mengganggu siswi lain yang mereka anggap sok pamer atau berusaha menyaingi mereka dalam hal penampilan. Apa yang saya paparkan ini baru sekelumit fakta yang saya ambil dari sebuah laman2. Di luar sana mungkin masih banyak kisah yang belum ketahui dan menunggu gilirannya untuk diangkat ke permukaan seperti halnya kasus geng Gazper ataupun geng Nero.
Kali ini Saya memposisikan diri sebagai siswa mempunyai pendapat sendiri berkaitan hal ini. Geng sekolah memang adalah sebuah anomali, tapi pasti ada penyebabnya. Remaja pada masa SMA kurang akrab dengan orang tua ataupun lingkungan rumah, dikarenakan pengaruh puber atau mungkin cara didik yang keliru. Kebanyakan orangtua memberi larangan ini itu, sehingga saya kira lumrah jika mereka merasa lebih nyaman dalam komunitas yang memiliki kesamaan karakter atau hobi dengan mereka. Namun, apabila kita mulai terusik dengan keberadaan geng yang menimbulkan kekacauan ini apalagi yang dapat kita lakukan?
Sebenarnya beberapa sekolah mempunyai mata-mata yang mengawasi perkembangan geng di masing-masing sekolah. Namun, banyaknya siswa yang terlibat dalam geng menyulitkan pihak sekolah untuk menertibkan mereka. Dalam hal ini pendekatan secara halus melalui dukungan dari orang tua bersama segenap warga sekolah bisa membantu mereka kembali ke jalur yang benar. Ibaratnya mereka adalah orang buta dan kita yang menuntun mereka agar tidak tersesat.
Lewat teman dekat hal ini mungkin dilakukan, tapi tentu kita harus pandai-pandai menjaga diri agar kita tidak ikut terjerumus atau paling tidak bisa membuat mereka mengerti kita tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Hukum tarik-menarik dapat pula kita berlakukan. Berpikir positif, berlaku positif! Kita hendaknya tidak melihat dari sisi gelap saja, tapi juga dari sisi yang membuat kita melihat bahwa sebenarnya mereka ini berkilau dan memiliki kebaikan seperti halnya kita.
Dari ketertarikannya terhadap suatu hal kita dapat menjadi teman mereka dalam hal yang sama. Mungkin akan sulit pada awalnya. Tapi kita bisa dengan melibatkan “mereka yang tersesat” ke dalam rencana kita. Guru memfasilitasi untuk menyalurkan tenaga mereka yang berlebih ke hal-hal yang lebih positif, misalnya olahraga. Tapi semuanya kembali kepada mereka, apa yang mereka pilih untuk dipelajari lebih dalam. Seperti yang saya kutipkan di bawah ini, bahwas hobi dapat menjadi pelampiasan energi remaja agar tidak terjerumus ke jalan yang salah.
"Klub basket mereka sering menjadi juara kompetisi bola basket di Kabupaten Pati," ujar Suprayit.
"Perilaku mereka juga baik-baik dan nggak neko-neko," tutur Suprayit sembari mengingat tingkah polah keempat remaja itu beberapa tahun silam.
Tentu hal ini sangat kontras dengan keberingasan dan kesadisan yang mereka tunjukkan di rekaman video ketika mereka melakukan pengeroyokan terhadap salah seorang korban.
Menurut Suprayit, sebenarnya anak-anak di SMP 1 Juwana memiliki banyak kegiatan, sehingga kesempatan untuk berkumpul di luar sekolah relatif minim. "Masuk pagi, belajar sampai siang, kemudian masih ada tambahan pelajaran sampai sore," terang Suprayit. Mungkin itu pula yang dulu bisa meredam tindakan negatif Ratna cs.3
Atau apabila dimungkinkan kita dapat melibatkan orang yang ahli dalam hal kejiwaan. Karena biasanya mereka akan sulit untuk mengungkapkan masalah sebelum menemukan orang yang cocok untuk berbagi. Mulailah pendekatan personal dari orang yang dianggap penting dalam geng tersebut. Karena ketika kita memulai dengan orang yang berpengaruh ini jalan kita selanjutnya akan lebih mudah. Selama ini mereka menganggap pimpinan geng sebagai orang yang paling benar dan harus mereka patuhi. Permasalahannya, mereka telah memposisikan orang yang salah sebagai panutan mereka. Saya lebih suka menyebut ini dengan orang tersesat yang mengikuti jalan orang buta!
Tindakan koersif seringkali menjadi senjata terakhir ketika suatu masalah menemui kebuntuan. Namun, kita tak boleh gegabah! Ada saatnya kita harus merenung dan membuka pikiran kita untuk hal-hal yang mungkin dapat menjadi jalan keluar dari permasalahan ini. Kita dapat menganalisis dengan mencari latar belakang fenomena yang marak di kalangan siswa ini. Sebenarnya apa yang membuat mereka yang tersesat melakukan kekerasan? Ini merupakan salah satu dampak globalisasi media yang tak terelakkan lagi. Tindak kekerasan yang sering ditampilkan televisi ‘mengilhami’ mereka untuk melakukan hal serupa. Seperti kita ketahui bahwa dalam perkembangannya remaja mengalami proses meniru apa yang mereka temui di sekitar mereka. Dalam kasus ini pemerintahlah yang paling bertanggung jawab. Kenapa kekerasan, pelecehan dan penghinaan menjadi dominan di sinetron-sinetron remaja yang menjadi tayangan unggulan di beberapa stasiun televisi?
Inilah yang menjadi titik akhir kita. Satu yang saya tekankan, yaitu kerja sama. Tanpa kerja sama semua akan sia-sia. Pemerintah, orang tua, guru, teman sebaya akan bersatu dalam menyelamatkan generasi muda yang tersesat. Setidaknya inilah impian saya. Tapi semoga ini juga menjadi impian seluruh komponen bangsa Indonesia.
Catcil:
1 DetikNews Edisi Selasa, 13/11/2007
2 www.nurhayanurdin.blogspot.com
3 www.news.okezone.com edisi Rabu, 18 Juni 2008 - 09:10
1 comment:
Waaah menurutku, yag namanya budaya geng yang konotasnya negatif memang wajib kita perangi.
Caranya? yang namanya budaya, ya juga hrus dilawa dengan budaya lagi donk. Kt sbnrny kan punya budaya ramah, sopan, dan ketumuran, kl budaya geng, bullying, mode pakaian anak muda sekarang, sampe kegemaran film, hingga mode pakaian anak muda zaman skrng kan bnyak meniru budaya luar. Mreka justru mengidolakan budya luar.
Padahal kita shrsnya bangga dg budaya sendiri. Moral kt dan budaya kt sebernya jauh lbh baik dr budaya barat kl sj mereka memahami.
Ha yang plg mudah seharusya dg meggalakan kegiatan sekolah, kl perlu di bentuk perstuan ana remaja, misal anak smu se kota Jogja kayak mini Sumpah pemuda gitu. Trsu mengadakan kegiatn yg dpt bermanfaat bg mereka sediri. jg nggak ada waktu utk hal negatif.
Salam persatuan utk anak muda Jogja.
Posting Komentar