Kearifan Lokal, Soko Guru Kehidupan Bangsa Indonesia dalam Menyongsong Satu Abad Kebangkitan Nasional
Oleh : Ratna Amalia Solikhah
SMA N 1 Bantul, Kabupaten Bantul
Kearifan lokal atau local wisdom secara umum merupakan sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan komunitas tersebut daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada.1) Dari definisi tersebut kita dapat mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan jawaban atas situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal sendiri sebenarnya dapat dipetakan menjadi tiga domain menurut subjeknya, yaitu
1. Hubungan antara manusia dengan manusia.
2. Hubungan manusia dengan alam.
3. Hubungan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.
Di Indonesia, masyarakat mulai melupakan kearifan lokal. Faktor utama penyebabnya adalah globalisasi yang membawa perubahan ekstrem melalui media massa elektronik dengan memasukkan nilai-nilai baru dan asing yang mengepung budaya asli Indonesia. Gempuran nilai-nilai dari berbagai kebudayaan asing tidaklah mudah untuk dihadapi. Nilai-nilai asing yang berbeda, bahkan yang bertentangan dengan nilai budaya setempat akan menimbulkan masalah. Kecenderungan orang yang mengalami tekanan akibat kepungan nilai-nilai asing akan menyebabkan terbaginya komunitas menjadi dua kubu. Suatu komunitas akan membentengi diri dengan nilai primordial dan kelompok lain akan menyesuaikan diri dengan perubahan. Kelompok kedua inilah yang terancam kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Pudarnya kearifan lokal menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan dalam kehidupan. Sebagai contoh, kurangnya kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam. Masyarakat kota dengan dalih modernisasi melupakan bahwa sesungguhnya manusia harus bisa beradaptasi dan menjaga keselarasan alam. Di Kalimantan, illegal loging begitu sulit dibendung. Begitu juga lunturnya kearifan lokal dalam hubungan pribadi dengan pribadi, masyarakat tak lagi tepa slira seperti yang terkandung dalam falsafah Jawa. Individualisme yang dipropagandakan oleh Neo-kapitalisme yang kini berada di bawah panji liberalisme telah menggoyahkan tradisi turun-temurun nenek moyang kita. Tidak salah jika KGPH Hadiwinoto, putra Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mengajak seluruh masyarakat dan komponen bangsa untuk mengembalikan nilai-nilai budaya yang mengalami distorsi dan cenderung mengikuti budaya serba instant. Sudah seharusnya kita meneladani Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang gigih mempertahankan persatuan bangsa dan kearifan lokal. Termasuk diantaranya yang berkaitan dengan budaya, sebagai bagian dari pengabdian.
Kearifan lokal, terutama domain hubungan manusia dengan manusia, mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan kecenderungan-kecenderungan yang diakibatkan oleh globalisasi. Dan tentunya kita akan mendapat banyak manfaat jika kembali menerapkan kearifan lokal. Sebagai bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika semestinya kita harus menyadari bahwa kearifan lokal merupakan soko guru di tengah intervensi globalisasi. Kaum muda sebagai penerus bangsa harus bekerja sama dalam menumbuhkembangkan semangat kearifan lokal pada berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, budaya maupun organisasi.
Pangkal permasalahannya adalah bagaimana kita membendung arus globalisasi dan mengembalikan kearifan lokal menjadi bagian dari sistem masyarakat kita? Hal ini bisa dilakukan dengan perbaikan pendidikan. Mengapa pendidikan? Karena dengan pendidikan kita akan berpikir lebih rasional dalam menentukan pemecahan suatu persoalan. Dalam hal ini tentunya kita harus mengkaji ulang sistem pendidikan kita. Banyak hal yang harus dibenahi, termasuk diantaranya tepatkah jika kita mengadopsi sistem pendidikan dunia barat dan melupakan kearifan lokal yang bersumber dari kebudayaan kita sendiri?
Memang harus kita akui bahwa dunia Barat handal dalam hal research and developing nilai-nilai kebudayaan mereka dan memasarkannya di negara-negara berkembang. Inilah, pokok permasalahan yang harus kita tangani. Dengan begitu kita sudah dapat menentukan tujuan kita, yaitu menggali kearifan lokal dalam rangka memupuk kembali nasionalisme kita yang tergerus oleh intervensi globalisasi.
Nasionalisme yang berkaitan erat dengan kearifan lokal dalam domain hubungan manusia dengan manusia, saling bersinergi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme berperan penting dalam hal mencapai tujuan negara, satu di antaranya ialah memajukan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan. Koentjaraningrat (1971) menyebutkan bahwa secara kolektif ada beberapa nilai kultural pada berbagai etnis Indonesia yang menghambat laju pembangunan, yakni
1. Sikap pasif terhadap kehidupan.
2. Kurang menghargai kualitas dan prestasi.
3. Menghargai keharmonisan dengan alam, bukan menguasainya.
4. Tidak berorientasi ke masa depan.
5. Terlampau menghormati gotong royong.
Dalam mengembangkan dan melestarikan kebudayaan sebagai salah satu interpretasi kearifan lokal, kita dapat bercermin dari China dan Jepang. Kedua Negara maju ini mampu mempertahankan budaya lokal sebagai cirri khas dan sumber inspirasi bagi mereka. Kita bisa saja menerapkan hal yang sama, misalnya saja budaya demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus memahami bahwa demokrasi bangsa barat yang cenderung liberal berbeda dengan demokrasi pancasila yang memberikan kesempatan bagi sipil untuk mengembangkan budaya masing-masing. Hal itulah yang menjadikan Indonesia memiliki beraneka ragam budaya.
Kembali ke penyelesaian masalah, memperbaiki pendidikan sebagai upaya menggali kearifan lokal sering gagal karena kita mematok visi terlampau tinggi. Selain itu kita juga sering melupakan potensi-potensi lokal dan biasanya hal ini kurang tersosialisasikan dengan baik pula. Pendidikan yang berdasar pada kearifan lokal pada umumnya berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan. Oleh karena itu hendaknya kita memperhatikan lima strategi dalam membangun pondasi untuk perbaikan masa depan, yaitu (1) sinergi antara sains dan seni, (2) penggabungan kekuatan psikologis, politik, dan ekonomi, (3) akumulasi dan kekuatan suku bangsa, (4) Membangun, Mengembangkan, dan mengkaji ulang strategi sepanjang masa dengan menganalisis budaya lokal berkesinambungan, agar tidak terlena oleh simbol-simbol emosional sehingga mati langkah saat menghadapi dunia yang serbateknologi, (5) memegang meritokrasi, kedamaian, dan kejujuran atau dalam istilah Kishore Mahbubani (2004) disebut software of success.
Sejumlah praktik pendidikan tradisional atau etnodidaktik terbukti ampuh menangkis serangan globalisasi terhadap kebudayaan setempat dengan mengusung kearifan lokal menjadi basis pembudayaan dan pendidikan. Ada pula etnopedagogi atau praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai bidang kehidupan seperti pengobatan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan sebagainya. Kearifan lokal (local wisdom) berfungsi sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan yang dilakukan melalui adaptasi pengetahuan lokal ini termasuk penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah petuah leluhur. Dan yang harus digarisbawahi adalah masalah sosial dapat dipecahkan dengan interpretasi nilai-nilai tersebut karena pada umumnya masalah sosial bersumber pada persoalan lokal. Hal ini membuktikan kebenaran prediksi seorang penulis Amerika, John Naisbitt, yang dijuluki sebagai "sang futuris dan filsuf global terkemuka" mengenai kecenderungan keseragaman budaya akibat globalisasi (menjadi kosmopolitan), namun pada saat yang sama terjadi pula kecenderungan kembali kepada kebudayaan sendiri.
Yang tidak boleh dilupakan adalah revitalisasi kearifan lokal dalam etnopedagogi harus dilakukan secara bersama-sama institusional dan juga lintas sektoral. Oleh karena itu peran pemerintah daerah dan para pejuang kebudayaan serta instansi pendidikan harus bekerja sama dalam hal mengembangkan kearifan lokal guna mendukung pembangunan. Dan sebagai generasi penerus dan pemegang tongkat estafet, hendaknya pemuda-pemudi Indonesia menyadari tanggung jawab moral untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal baru (new wisdom). Hal ini harus secepatnya diterapkan untuk merintis jalan menuju Indonesia yang lebih baik dan berbudaya dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Tentu saja semua ini dapat diwujudkan dengan prinsip “memelihara khasanah lama yang dianggap baik, dan mengambil hal-hal baru yang dianggap lebih baik”. Dengan demikian Indonesia dapat lepas dari cap “negara pengekor” dan berkembang dengan warisan kearifan lokal dari nenek moyang kita sendiri.
Daftar Pustaka
Dalem, A.A.G. Raka, dkk. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. UPT Penerbit Unud & PPLH Unud.
(2008, 31 Maret). Dan Atau. [online], 1 halaman. Tersedia http://putuwijaya.wordpress.com. [2 Mei 2008].
(2008, September). Menggagas Ulang Strategi Kebudayaan Pemuda Indonesia yang Berbhineka. [online], 1 halaman. Tersedia http://www.hariankomentar.com. [2 Mei 2008]
Tujuh Ayat Etnopedagogi. [online], 1 halaman. Tersedia http://www.pikiran-rakyat.com. [2 Mei 2008]
Kearifan Lokal di Arus Global. [online], 1 halaman. Tersedia http://kisunda.multiply.com. [2 Mei 2008].
(2005, 8 Mei). Kearifan yang Terlupakan. [online], 1 halaman. Tersedia http://www.indomedia.com. [2 Mei 2008].
0 comment:
Posting Komentar