Chomolungma
Pagi itu matahari bersinar seperti biasanya. Namun, ada kesibukan yang tak biasa di markas pecinta alam kami. Aku, Rizal, ikut bergabung dalam kesibukan itu.
“Gimana persiapannya?” Fandi bertanya sambil terus mengepak peralatannya, “bentar lagi take off, nih!” si Ketua kembali angkat bicara.
Hari ini kami akan berangkat menuju Lasha. Dari sana kami akan meneruskan perjalanan untuk mendaki Chomolungma1 lewat jalur utara. Persiapan dimulai sekitar beberapa bulan yang lalu ketika Evgenie Boukreev dan Anatoly Vinogradsky, pendaki Rusia, mulai melatih kami menghadapi bahaya badai dan ancaman salju longsor atau bahkan jet stream wind yang bisa terjadi kapan saja. Tapi petualangan yang sesungguhnya baru akan dimulai!
“Zal,” Buyung mendekat sambil menatapku tajam, “ingat Emak Kau?” Buyung mendesah. “Kita susah payah cari sponsor dan dapat izin buat mendaki. Ini yang kita nantikan! Keluarga Kau pasti baik-baik saja, yakinlah!” sambungnya lagi.
“Buyung, entah kenapa hari ini perasaanku tak begitu baik. Seperti…” aku tak berani meneruskan kalimatku. Dan lagi-lagi aku hanya terdiam. Aku bingung!
“Sudah? Ayo, berangkat! Nanti keburu ditinggal yang lain!” Made berteriak menggugah alam sadarku. Kukunci pintu setelah kupastikan semuanya lengkap mulai dari perlengkapan dasar sampai pembantu. Hampir aku melupakan satu hal terpenting, mental kami pun harus benar-benar siap!
Matahari mulai meninggi dan panasnya terasa begitu menyengat. Cepat kututup pintu mobil dan pick up tua milik Fandi mulai beranjak menuju bandara Adi Soetjipto.
*****
Masjid Chota tampak redup. Agakh Tobygal, tiger’s snow2 kami, memasuki masjid dengan langkahnya yang besar-besar, membuat anak-anak kewalahan mengikutinya. Kami pun berjajar rapi membentuk shaf di belakang Agakh.
Suara takbir yang merdu menyadarkan alam bawah sadarku. Segera hening merayap di tengah dinginnya cuaca malam itu.
Malam hari di Lasha, tak bisa kau bayangkan gemerlap bintang atau bulan menerangi pekatnya malam. Gumpalan-gumpalan awan hitam memenuhi angkasa, hingga tampak seperti asap knalpot mobil-mobil seperti yang biasa kujumpai di Jogja.
“Agakh,” katanya sambil mengulurkan tangan. Agakh lalu memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris yang fasih Aku memang belum berkenalan dengannya. Lima jam perjalanan dari bandara membuat kami terlalu lelah walau sekedar basa-basi. Tiba di bandara sekitar pukul 4.00 sore waktu Tibet, Setelah masuk ke dalam jeep hijau miliknya kami semua tertidur, kecuali Agakh dan Fandi.
“Sudah lama jadi tiger’s snow? Sepertinya kau begitu menikmatinya.” iseng aku bertanya. “For about two years. I love my job! Ayahku juga seorang tiger’s snow…” sesaat dia terdiam, aku tak tahu kenapa. “Aku…” lagi-lagi ia terdiam.
Aku menyesal telah bertanya.Untungnya Adhi menyelamatkanku dari perasaan bersalah. “Zal, temenin cari makanan!” ekspresinya menunjukkan ia benar-benar lapar.
“Apa yang dia bilang?” Agakh bertanya padaku. “Urusan perut. Minta temenin cari makanan.” Agakh tertawa kecil. Melihat badannya yang tegap dan besar tampak kontras dengan sifatnya yang bersahabat. “Kebetulan saya juga lapar. Di dekat sini ada penjual tsampa3. Hanya restoran kecil tapi lumayan!” sahutnya sambil memakai sepatunya. Malam kian larut dan kami bergegas menuju jeep. Angin menuruni punggung Himalaya. Kami semakin menggigil di balik sweater tebal yang kami kenakan. Kurapatkan jaketku dan terburu-buru memasuki jeep. Perlahan Agakh mengendarai mobilnya, merayap di jalan-jalan menikung yang seolah tak berujung.
*****
“Hati-hati, oke?” Kata Agakh sebelum kami mulai berjalan.
“Agakh?” ujarku memanggilnya. Ia menoleh, “Ya?” Aku menjadi ragu untuk mengutarakannya. “Nothing! I just… forget it!” kemudian aku mundur dan berjalan di samping Adhi. Wajahnya begitu pucat, kemudian kupegang tangannya. Beku!
Adhi semakin mempercepat langkahnya. Sudah beberapa tanjakan kamu lalui. Tebing di sini cukup atau mungkin tepatnya sangat tajam. Aku tak berani membayangkan kalau kami terpeleset atau tiba-tiba bongkahan salju memburu kami seperti saat latihan mendaki gunung bersalju di Paldor dan Island Peak. Mengerikan!
“Heh, kamu ngapain?” bentak Buyung. Made tersentak dan segera bangkit.
“Tiyang capek. Istirahat sekejap!” jawab Made sambil menurunkan ranselnya.
“Bah! Capek?” kata Buyung lagi dengan nada menyindir.
“Sekejap saja ya? Capek tiyang jalan terus.” Sahut Made sambil duduk meluruskan kakinya di atas tumpukan salju. Lucu juga mendengar Made mencampuradukkan bahasa Bali dengan bahasa Melayu.
“Take a rest?” Tanya Agakh. “Oke, tapi beberapa meter lagi, ya? Di depan sana ada tempat bagus. Kita bisa beristirahat di sana sebelum melanjutkan perjalanan.”
Setapak demi setapak akhirnya kami sampai di tempat yang Agakh maksud. Malam ini kami berniat untuk bermalam. Lelah juga, apalagi dingin membuat kaki kami beku. Namun, ketika Agakh mulai mengeluarkan bekal, energi kami terisi kembali.
Selesai makan kami sempat berbincang. Dari cerita Agakh kami tahu bahwa di sisi lain gunung ini terdapat kuil yang dihuni para bikkhu dan llama-llama.
“Kamu mau lihat llama, Adhi?” sahut Agakh. Dan pembicaraan pun berganti topik seputar llama. Untuk sesaat kami lupa akan hawa dingin yang menyerang tubuh. Selang beberapa lama kemudian kami bersiap untuk tidur. “Have a nice dream!” Agakh merebahkan badannya dan mulai memejamkan mata. Selamat malam juga, bisikku lirih.
*****
“Ha-le! Ha-le!” 4 teriak Agakh sambil menancapkan benderanya.
Seketika itu aku berlutut dan larut dalam sujud. Bagaimana lagi aku harus bersyukur? Di sinilah kami sekarang, 29.028 kaki di atas permukaan laut.di puncak tertinggi di dunia. Sungguh… tak terungkapkan!
Kulihat Adhi mengikuti apa yang kulakukan, disusul yang lain. Ya, kami di sini bukan untuk menaklukan Everest. Tapi mencari apa yang kami sebut kepuasan batin. Jika ada mitos Jawa tentang bagaimana memaknai mendaki gunung sebagai pencapaian spiritual yang luar biasa, aku rasa itu benar! Persis seperti apa yang kurasakan saat ini.
“Kita dirikan tenda dulu? Aku bisa mati kedinginan kalau seperti ini!” semuanya mengangguk mendengar perkataan Fandi.
“Brr…” Adhi menggosokkan kedua telapak tangannya. Di ‘death zone’ tempat kami berada kini, penyakit ketinggian sering menyerang para pendaki. Dan faktanya kami tak akan mungkin mencapai puncak tanpa membawa botol oksigen. Beruntung, kami dapat beradaptasi lumayan cepat dengan suhu udara yang begitu ekstrim.
“Lebih baik kita turun sekarang saja!” Tiba-tiba Fandi telah berdiri di belakangku sambil meneguk Oolong Tea yang diseduh. Agakh memandang berkeliling.
“Ada apa?” Tanya Fandi. “Cuaca tampaknya tak akan bagus.” jawab Agakh dengan nada ragu. Dan benar, cuaca memburuk saat kami turun!
“Sepertinya akan ada badai besar! Lebih baik kita berlindung secepatnya,” Agakh terpaksa berteriak. Suaranya tenggelam di tengah deru salju yang turun semakin lebat. “Akh!” Adhi terjatuh. Suaranya cukup keras. Kami yang berada di depan segera berlari, terseok-seok menuju si empunya suara. Derasnya salju membuat penglihatan mengabur. “Hati-hati!” Buyung memperingatkan. “Tenang!” Fandi mencoba mengatasi kepanikan.
Aku segera memeriksa kakinya. “Hanya terkilir. Tahan, ya?” Aku berkonsentrasi. “Bismillah… “ Adhi meringis menahan sakit. “Bagaimana?” tanyaku.
“Mendingan,” jawabnya pelan. Dicobanya untuk berjalan beberapa kali. Sepertinya kakinya sudah membaik.
“Krak! Glurrrr…!!!” terdengar suara gelugur diiringi runtuhan salju menghujani kami. “Longsor!” teriak Fandi. Semuanya begitu cepat terjadi. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka. Ketiga anak itu telah berlari sementara Adhi kesulitan mengejarnya, dan dalam sekejap aku kehilangan mereka.
Guguran kedua semakin mendekat. Aku terkesiap! Kurasakan nafasku hampir tercekat di tenggorokan.
Dari belakang Agakh dengan sigap menarik tanganku dan mengajakku berlari dan terus berlari. Langkahku terseok. Aku mulai payah. Sempat terpikir kalau aku tak akan selamat. Aku akan mati di sini!
Ketegangan semakin memuncak ketika sebuah bola salju besar menghantam tebing, dan “Blarrr!” suaranya terdengar seperti ledakan hebat. Aku mencoba mengimbangi langkah Agakh. Sesaat kemudian, Chomolungma kembali diam. Kurasakan butiran salju menimpa tubuh kami yang rebah di permukaan salju yang tebal. Angin berhembus mendirikan bulu kudukku. Baru kami sadari, kami terpisah dari yang lain! Ya Allah, lindungi kami!
Agakh mencoba tenang. Nafasnya yang memburu makin teratur. Aku bersyukur kami berada di gua ini sekarang. “Tinggal kita?” sepertinya Agakh baru menyadari. “Ini yang kutakutkan,” isaknya walau tak begitu jelas. Agakh menangis?
“Agakh?” kutepuk pundaknya. “Aku…” dia mulai berbicara lagi. Kali ini lebih tenang, “Aku teringat ayahku. Dia… ” Aku tak berani menyela.
“Tenang, Agakh!” kutepuk bahunya dan dia mulai bercerita, “Hari itu ketika cuaca memburuk, Ayahku nekat mendaki untuk mengantarkan rombongan dari Eropa. Dan kau tahu apa yang terjadi? Badai salju menyerang dan dia… hilang!” ucapnya lirih hampir tak terdengar, “jasadnya baru ditemukan beberapa hari kemudian, membeku!” Agakh kembali bertutur. Aku tak bisa melihat wajahnya dalam gelap. Aku hanya mendengar suaranya yang bergetar hebat.
“Abangku, Tranzyg, lalu memutuskan untuk menjadi bikkhu di Dalai Lama!” Kuulurkan sapu tangan, meraba-raba untuk memberikannya pada Agakh. Diusapnya air mata yang sempat mengalir. “Aku bukannya takut kematian, Zal! Kau mengerti, kan? Tapi sejujurnya aku takut bila aku tak akan berjumpa lagi dengan ibuku, abangku!”
“Walau sejak dulu aku ingin sekali menjadi dokter Sherpa5 tapi aku ingin menjadi seperti ayah! Seperti ayah… “ ucapnya lirih dan semakin lirih saja.
“Agakh?” aku mencoba memecah kesunyian.
“Ya?” jawabnya dengan suara yang lebih tenang.
“Ayahku juga telah tiada. Dia hilang dalam suatu kerusuhan di negaraku. Aku kira tak perlu Kau sesalkan kepergiannya. Setidaknya kau masih punya keluarga yang menyayangimu,” hiburku. Ah, mungkin aku salah mengatakan hal ini. Kata-kata itu lebih tepat jika kutujukan pada diriku sendiri. Rasanya, aku pun belum bisa merelakan kepergian ayah.
“Apa teman-teman akan baik-baik saja?” aku bertanya lagi.
“Entahlah, kita berdoa. Semoga…” Agakh seperti kehabisan kata-kata. Dia diam dan aku juga diam. Sisa hari itu kami habiskan dalam malam mencekam.
Tak ada lagi persediaan makanan. Semuanya terjatuh saat kami menghindari longsor. Malam ini kami masih bisa bertahan. Tapi besok? Teman-temanku, bagaimana dengan mereka? Bagaimana kalau… Ah, kutepiskan pikiran burukku. Aku tak tahu apakah Agakh telah tertidur atau belum. Di dalam sini terlalu gelap, sekalipun untuk meraba. Aku khusyuk dalam sujud, berharap masih ada hari esok untuk kami. Lalu semuanya perlahan mulai mengabur, aku tersuruk. Jatuh tak sadarkan diri.
*****
Untuk Rizal,
Kau temanku yang baik. Walau kita baru berkenalan selama satu minggu Kau sudah kuanggap seperti teman baikku.
Rizal, setelah kepulanganmu, setelah tragedi itu, aku begitu bersyukur kita, masih hidup. Ibu dan abangku menjemputku di rumah sakit. Sampai sekarang aku masih berpikir ini merupakan keajaiban. Tuhan telah menurunkan malaikatnya unutk menolong nyawa kita.
Sayang aku tak sempat mengajakmu berkeliling di desaku, Solu Khumbu. Aku ingin menunjukkan padamu bagaimana kami, orang Sherpa, menggembala yak6! Dan anak-anak akan berlarian bersama-sama mengikutinya. Andai waktu bisa kuulang… tapi tidak! Kita hidup untuk masa depan! Kita tidak boleh mundur dan berandai-andai! Dan menurutku kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman kita yang telah lalu. Benar begitu?
Apakah kau masih berminat untuk mendaki Chomolungma? Kalau ya, aku tunggu kau, kalau kau tak trauma tentunya. Tapi aku yakin kau orang yang berani, walau sekarang…. Lupakan sajalah! Tabahlah akan nasibmu, aku turut berduka, kawan!
Bagaimana kabar keluargamu? Baik? Lalu bagaimana Adhi, Fandi, Buyung, dan Made? Sudah lama aku tak mendengar kabar tentang mereka. Kapan-kapan aku akan mengunjungi kalian di Indonesia. Tapi tunggulah, aku masih ingin berlama-lama dengan keluargaku untuk saat ini. Ada banyak hikmah yang bisa kupetik setelah semua yang terjadi.
Jangan lupa, sampaikan salam untuk teman-teman dan juga keluargamu. Ceritakanlah sesuatu tentang dirimu. Dengan senang hati aku akan membalas suratmu.
Salam,
Agakh Tobygal
Kututup lembaran surat yang baru saja kuterima. “Le,” ibu memanggilku. Kerut di dahinya mengingatkanku kalau ibu sudah semakin tua. “Ibu,” suaraku terdengar begitu sengau. Kulihat air mata menggantung di sudut matanya. Kupandangi kakiku. Beruntung aku masih selamat, meski aku harus kehilangan kaki kiriku yang terpaksa diamputasi.
“Sudah maghrib, masuk! Ndak masuk angin” ujarnya lembut sambil memapahku.
Bulan tersipu malu di balik dedaunan, menggantikan matahari bertahta di singgasananya. Sore ini bayu begitu lembut membelaiku. Sekali ini, air mata haru jatuh menetes. Luruh ditelan senja.
*****
1 nama lain Himalaya; (bahasa Tibet) Gunung Besar tempat bersemayam Dewi Salju
2 pemandu pendaki Himalaya
3makanan utama penduduk negeri Tibet yang terbuat dari gandum
4 hebat (bahasa Tibet)
5 Suku yang mendiami lereng Himalaya
6 sapi yang dapat hidup di ketinggian 4000 m, badan dan ekornya (seperti ekor kuda) berbulu tebal
0 comment:
Posting Komentar