“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Huud : 112)
Istilah akhwat di era 70-80an di Indonesia mungkin masih jarang kita dengar. Ketika di tahun 90an sampai sekarang, sayap dakwah semakin terbuka dan berkembang pesat hampir di sebagian besar aspek kehidupan dan istilah akhwat kini semakin sering kita dengar hampir di seluruh penjuru tanah air.
Pada dasarnya, akhwat bermakna kaum wanita. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan kondisi, maka kata ‘Akhwat’ sekarang lebih ditujukan kepada muslimah yang faham tentang nilai-nilai keislaman dan aplikatif dalam menjalankan keislamannya secara kaffah. Walaupun hal tersebut tidak menjadi sebuah legitimasi bahwa kata ‘akhwat’ hanya khusus ditujukan untuk orang-orang tertentu saja dan mengacuhkan pihak yang lain. Dalam tulisan ini, makna akhwat yang digunakan adalah yang ditujukan kepada mereka yang sudah lebih memahami dan mempelajari islam ini secara kaffah, minimal berusaha mencapai hal tersebut secara aplikatif.
Kita ketahui bersama, ketika seorang akhwat telah mempelajari dan memahami islam ini lebih baik dibandingkan masyarakat umum lainnya melalui proses ta’lim, dauroh (pelatihan), ataupun sarana-sarana lain yang mampu mengoptimalkan fungsi muslimahnya dan secara aplikatif mampu menjadi da’iyah di kalangan umat yang senantiasa mengajak manusia kepada jalan kebenaran, maka ketika itu juga seorang akhwat tentunya telah menerima konsekuensi akan apa yang akan mereka jalani. Konsekuensi syahadatain yang bermakna bahwa senantiasa menjadikan Allah sebagai orientasi dan Rasul-Nya sebagai qudwah hasanah. Konsekuensi akan nilai-nilai islam yang harus melekat di dalam dirinya, dan konsekuensi amanah yang diembankan di pundaknya berupa risalah dakwah.
Akhwat bukanlah satria baja hitam yang dapat berubah secara tiba-tiba tergantung kondisi tempat ia berada. Akhwat juga bukan seperti bunglon, ketika hinggap di rumput maka tubuhnya menjadi hijau, dan ketika di pohon maka warna tubuhnya pun berubah seperti pohon. Tidak. Mereka bukan bagian dari keduanya.
Akhwat di manapun mereka berada tetaplah tampil sebagai akhwat. Apapun kondisi yang terjadi, akhwat selayaknya tetap menampilkan karakter cara islam yang baik. Di rumah, kantor, kampus, pasar, taman, bahkan di WC sekalipun, akhwat tetaplah akhwat yang senantiasa menjaga nilai-nilai islami di dalam dirinya. Apakah itu di dunia nyata atau di dunia maya yang akhir-akhir ini menjadi ladang dakwah dan sarana akhwat dalam mengoptimalkan potensi dan meningkatkan keilmuannya.
Akhwat pun bukan pula malaikat tanpa cacat dan dosa, yang tidak pernah melakukan kesalahan ketika beraktivitas dalam hidupnya, namun seorang akhwat ketika telah menjadi bagian dari dakwah ini hendaknya senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh orang yang telah lebih baik memahami islam dibandingkan masyarakat umum lainnya.
Ketika berjumpa dengan muslimah lain, baik yang sudah menutup aurat secara rapi maupun yang belum, akhwat hendaknya memberikan senyum terbaiknya, sehingga ketika muslimah lain melihatnya maka akan terasa keindahan akhlaknya, menyapa dengan ramah, menyentuh hati objek dakwah dengan kesantunan bukan kekerasan. Senantiasa menggali ilmu untuk mengisi akalnya sehingga dengan lebih banyak bisa bermanfaat bagi orang lain. Menjaga batasan dengan yang bukan mahramnya karena berbaur bukan berarti harus melebur. Senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungannya sehingga tidak ada lagi perkataan ‘Akhwat jorok’ dalam pergaulannya. Satu yang mungkin perlu kita perhatikan, ketika akhwat telah menutup aurat dengan rapi, maka jangan pernah sekalipun untuk merubahnya pada keadaan yang tidak lebih baik, misalnya jika jilbab sudah lebar, jangan pernah memendekkannya walaupun beberapa orang yang kita lihat sebagai akhwat ‘lebih tua’ seperti itu atau jika tidak bersalaman dengan yang bukan mahram, ketika keadaan tertentu kita bersalaman dengan mereka. Sekali lagi, berusaha mencapai yang terbaik bukan berarti menjadi seorang perfectionis yang tanpa cacat. Begitulah seharusnya.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
(QS. Al-Jaatsiyah : 18)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita”
(QS. Al-Ahqaaf :13)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comment:
Posting Komentar